Memahami Landasan Undang-Undang Desa

 

(tulisan ini dimuat di kolom opini Kompas edisi 23 Juni 2016, versi asli sebelum diedit oleh Kompas)

Oleh: Muhammad Azka Gulsyan

Adanya pendapat yang mengaitkan Undang-Undang Desa dengan kebangkitan komunisme beberapa waktu kemarin merupakan pemikiran keliru yang dapat menyesatkan persepsi publik.

Sayangnya masih terdapat kelompok masyarakat yang percaya karena menyimpan ketakutan akan kebangkitan PKI. Karenanya perlu untuk dijelaskan bagaimana sesungguhnya landasan ilmiah dibalik undang-undang ini, agar kita paham bahwa UU Desa adalah sebuah bentuk kemajuan dalam upaya pembangunan bangsa, bukan sebuah celah bangkitnya  kembali PKI.

 

Penulis akan memulai dari sebuah fakta berikut: dalam sejarah tidak ada satupun negara komunis yang menerapkan model pembangunan seperti model yang digunakan dalam UU Desa. Lebih lanjut, dalam konteks pembangunan, pemikiran Marxisme yang menjadi landasan ideologi komunisme berdasar kepada apa yang disebut ‘pendekatan konflik’, di mana dipandang bahwa akan selalu terjadi pertentangan antar kelas masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Sedangkan dalam UU Desa, tidak ada satu pasal pun yang menyerukan, atau sekedar menyinggug konflik antara kelas masyarakat.

 

Kedua fakta di atas sudah sedikit dapat menggambarkan bagaimana UU Desa dan kebangkitan PKI adalah dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Lantas selanjutnya, jika benar bukan komunisme, apa sesungguhnya landasan dari undang-undang ini?

 

Pembangunan Oleh Masyarakat

Untuk memahami konsep dasar dari undang-undang ini, kita perlu memulai dari pemahaman bahwa dunia saat ini telah bertransformasi menjadi sebuah kompleksitas. Maksud dari pernyataan ini adalah, bahwa dunia saat ini, setidak nye sejak lima dekade terakhir, telah menjelma menjadi dunia yang sangat dinamis, terus mengalami perubahan  dengan cepat tanpa henti dan tidak terprediksi. Apa yang sebelumnya tidak terhubung ternyata menjadi terhubung (network), apa yang sebelumnya tidak berpengaruh atau terpangaruh ternyata iya (butterfly effect), dan apa yang sebelumnya dapat diduga dan diantisipasi menjadi tidak dapat lagi (chaos). Semua terjadi dalam hubungan timbal balik antara berbagai elemen yang sangat sulit diestimasi secara presisi (causal loop).

 

Dampak dari kompleksitas ini adalah, meminjam istilah dari peraih nobel ekonomi asal AS, Elinor Ostrom (1990), tidak adanya sebuah solusi panacea—solusi pamungkas yang dapat menyelesaikan semua permasalahan di tiap tempat dan waktu dalam seting sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi yang berbeda-beda.  Dengan begitu, pendekatan pembangunan yang sentralistik dan mekanistik—seperti yang kita terapkan pada era orde baru—tidak dapat lagi bekerja.

 

Tetapi jalan keluar yang ditawarkan untuk meghadapi kompleksitas ini bukanlah menyerahkan pembangunan ke mekanisme pasar secara penuh. Ilmuan sosial dalam kelompok pemikiran ini tidak menjebakkan diri dalam dikotomi negara-pasar dalam pembangunan (state driven/market driven development), tetapi menemukan rumusan alternatif baru: pembangunan yang dilakukan dengan keterlibtan masyarakat secara langsung.

 

Ide alternatif dalam pembangunan ini adalah sebagai berikut. Segala kompleksitas di tingkat lokal akan sulit dipahami oleh pengambil keputusan di pusat yang berada jauh dari permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dan secara empiris ketidaksesuaian kebijakan menjadi hal yang sering teradi karena ketidakpahaman tersebut. Adapun dengan mekanisme pasar, maka kelompok masyarakat yang lemah modal akan tersingkir, dan bukti empiris mengenai hal ini juga sudah begitu banyak dapat kita lihat.

 

Maka menjawab permasalahan dari kedua pendekatan tersebut, aternatif model pembangunan ini memberikan kesempatan kepada masyarakat di tingkat lokal, yang benar-benar memahami apa permasalahan yang mereka hadapi dalam keseharian dan apa kebutuhan mereka, untuk melaksanakan pembangunan dengan prinsip kolaborasi, bukan kompetisi yang saling menjatuhkan.

 

Dari pendekatan pembangunan oleh masyarakat tersebut terlahir berbagai varian konsep pembangunan dalam mazhab ini: community development, development from below, participtory planning, self-governance dan beberapa konsep lainnya yang dengan berabagai variasinya yang mengusung model pembangunan secara langsung oleh masyarakat.  Secara teoritis, di sinilah UU Desa berdiri; bukan dari komunisme.

 

Kemajuan

Sesungguhnya pendekatan pembangunan seperti yang digunakan pada UU Desa telah menjadi tren global. Community development telah menjadi konsep pembangunan yang umum digunakan oleh berbagai agensi pembangunan international yang berada di bawah PBB dan Bank Dunia, serta berbagai agensi lainnya dalam memberikan solusi bagi pembangunan di berbagai negara di dunia. Bahkan contoh khusus dalam pengelolaan pemanfaatan hutan saja, data FAO pada tahun 2006 menyebutkan bahwa 84% hutan global yang sebelumnya dikelola secara langsung oleh negara telah diserahkan secara resmi kepada komunitas lokal.

 

Pada kota-kota di eropa, perencanaan partisipatif (participatory planning) telah menjadi pendekatan yang major dalam perumusan rencana pembangunan kota.

 

Dalam masyarakat ilmiah dunia pun pendekatan ini sudah terakui, di mana konsep self-governance telah mengantarkan Elinor Ostrom menerima penghargaan Nobel Ekonomi pada tahun 2009.

 

Pada negara-negara maju, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan telah dianggap salah satu kunci yang harus diterapkan guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) (Mega, 1999). Karenanya, pendekatan ini merupakan arah masa depan dalam model pembangunan.

 

Maka dari itu penetapan UU Desa oleh pemerintah dan DPR pada 2014 lalu merupakan sebuah langkah maju yang telah dilakukan oleh Indonesia dalam pendekatan pembangunannya.

 

Oleh karenanya, ketakutan bahwa undang-undang ini menjadi pintu masuk bangkitnya komunisme adalah ketakutan yang tidak berdasar yang tidak memahami apa landasan dari undang-undang ini. Masyarakat  justru akan dapat bangkit melawan di saat haknya terampas—seperti yang kerap terjadi dalam pendekatan sentralistik—dan UU Desa-lah yang telah memberikan kembali hak-hak masyarakat yang telah lama tercerabut oleh negara yang sentralistik di era terdahulu.

 

 

Kyoto, 3 Juni 2016

Muh. Azka Gulsyan

Guest Researcher Associate, Division of Economic and Political Dynamics, Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University.

 

 

 

Tinggalkan komentar