Sumber Daya Kolektif Masyarakat

Oleh: Muh. Azka Gulsyan

Selama ini perdebatan mengenai penguasaan sumber daya seakan hanya terbagi ke dalam dua kubu pemikiran saja: kubu yang menyatakan bahwa penguasaan harus diberikan kepada individu (privat); dan kubu yang menyatakan bahwa penguasaan seharusnya dipegang oleh negara.

Perdebatan antar kedua kubu tersebut terjadi terutama dalam interpretasi Pasal 33 UUD 45. Kelompok kedua sering menyerang kelompok pertama sebagai kelompok yang mengingkari pasal UUD tersebut, karena dalam kalimat pasal disebutkan bahwa sumber daya dikuasai oleh negara. Sedangkan kubu liberal menyatakan bahwa hanya dengan meliberalisasi penguasaan sumber daya, ekonomi dapat bertumbuh dengan kompetitif, yang pada akhirnya membawa kemakmuran bagi rakyat, yang juga diamanatkan dalam kalimat pasal.

Singkat cerita, perdebatan antara dua kelompok pemikiran tersebut membuat kita melupakan pemikiran penguasaan sumber daya yang ketiga: penguasaan sumber daya kolektif (the commons). Model ini akhirnya sering telupa dalam perdebatan publik mengenai penguasaan sumber daya. Apa gerangan sesungguhnya model ketiga ini?

Sumber daya kolektif

Konsep mengenai sumber daya kolektif ini dikembangkan oleh seorang wanita peraih Nobel Ekonomi asal Amerika, Elinor Ostrom (1933-2012). Penelitian nya akan sumber daya kolektif di berbagai belahan dunia telah mengantarnya mendapatkan penghargaan tertinggi dunia ilmiah tersebut.

Tesis dasarnya sesungguhnya sederhana saja: sumber daya yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat dan dikelola secara bersama oleh institusi kolektif masyarakat, ternyata  membuat pengelolaan sumber daya tersebut lebih berkelanjutan (sustainable), berkeadilan, dan membawa kesejahteraan bersama dibandingkan yang dikuasai oleh pemerintah ataupun oleh sektor privat.                Bagaimana penjelasannya? Untuk penjelasan sederhana, bayangkan sebuah hamparan padang rumput dengan aliran sungai yang menjadi sumber makanan dan minuman dari binatang ternak dari sekelompok peternak. Saat lahan tersebut masih berupa open access, sumber daya yang belum jelas penguasaan nya sehingga terbuka bagi siapa saja utuk memanfaatkannya, maka para peternak akan berlomba-lomba untuk mengambil rumput di sana. Pemanfaatan yang berlebih membuat padang rumput tereksploitasi secara berlebihan yang akhirnya merusak lahan dan tidak dapat dimanfaatkan oleh semua, terjadilah apa yang disebut dengan the tragedy of commons.

Untuk menghindari hal tersebut, maka oleh para pendukung penguasaan privat dibuat lahan tersebut dibagi-bagi kepada para peternak, sehingga setiap peternak memiliki sepetak padang rumput secara privat. Tetapi ternyata hal ini juga masih menimbulkan permasalahan karena hamparan padang rumput tersebut, seperti layaknya sumber daya alam lainnya, tidaklah merata secara kualitas. Ada bagian yang tumbuh lebat, ada yang lebih kering. Ada yang dekat sumber air, ada yang tidak. Ada pula yang menguasai di hulu, sehingga penggunaan berlebihan akan merugikan mereka yang di hilir. Hal ini menimbulkan isu keadilan pemanfaatan hamparan padang rumput, karena akan terdapat individu-individu yang terugikan, dan individu yang lain diuntungkan di atas kerugian mereka.  Lahan yang “dibagi-bagi” ini pun menjadi tidak bisa dimanfaatkan dan dikelola dalam skala besar untuk mencapai efisiensi, karena peternak akhirnya berjalan sendiri-sendiri dalam mengelola hamparan nya.

Kemudian didorong oleh para pendukung penguasaan oleh pemerintah, lahan tersebut akhirnya dikuasai oleh pemerintah, dan penggunaan nya diatur dengan seperangkat aturan yang “adil”, yang dibuat oleh pemerintah dengan kekuatan koersif nya, membuat setiap orang dipaksa untuk mentaati. Benar, kini pengeolaan hamparan dapat dilakukan dalam satu sistem secara keseluruhan. Tetapi ternyata, penguasaan oleh pemerintah banyak menimbulkan permasalahan karena aturan tersebut sering tidak sesuai dengan keadaan keseharian (day to day) di lapangan, dengan detail-detail pelaksanaan, karena aturan dibuat oleh pemerintah yang “berada jauh di sana”. Kontrol akan pelaksanaan pun menadi lemah. Bahkan, diperparah dengan perilaku korup dan inkompetensi dari aparatur negara. Bila diandaikan pemerintah bersih dan dapat mengontrol hingga pelaksanaan keseharian, akan terdapat biaya (cost) yang menimbulkan inefisiensi.

Akhirnya, hamparan padang rumput tersebut ditangani dengan pendekatan para pendukung penguasaan kolektif yang dimotori oleh ibu Elinor Ostrom ini. Dengan pendekatan ini, ternyata permasalahan yang ditimbulkan dari kepemilikan privat tidak terjadi karena hamparan tidak harus “dibagi-bagi” kepada para individu peternak, yang menimbulkan kesulitan untuk mengatur sumber daya yang sesungguhnya merupakan satu ekosistem yang saling terkait, yang karena nya harus diatur secara sistemik pula. Dengan begitu kini dapat diatur bagaimana seberapa banyak penggunaan sumber daya air boleh dilakukan, sisi mana dari sungai yang boleh dimanfaatkan dan bagaiman pembagian nya kepada para peternak; kapan rumput boleh di ambil kapan tidak, untuk memberi kesempatan tumbuh. Secara efisiensi kini menjadi lebih menguntungkan. Pengelolaan hamparn tersebut menjadi tanggung jawab bersama peternak-peternak, sehingga dapat diorganisir secara efisien dibandingkan masing-masing mengelola lahan yang terbagi-bagi.

Semua itu diatur dan dijalankan oleh institusi kolektif masyarakat yang menghasilkan aturan-aturan berdasarkan kesepakatan bersama, dan dapat diawasi secara mendetail oleh sesama peternak. Aturan tersebut serta akan dapat sesuai dengan kebutuan pemecahan permasalahan keseharian di lapangan yang ditemui karena mereka yang paling memahami permasalahan yang mereka hadapi. Dan hal tersebut dapat dilakukan tanpa biaya tinggi untuk membiayai aparatus pemerintah. Hasilnya, kesejahteraan bersama yang adil dapat terwujud karena semua peternak diuntungkan dengan win-win solution. Disaat yang bersamaan kelestarian dan keberlanjutan sumber daya pun terjaga, dengan biaya yang lebih rendah.

Tetapi hal tersebut tidak terjadi begitu saja. Ada satu prasyarat wajib yang harus dimiliki: adanya institusi kolektif masyrakat yang memadai. Inilah yang ditemukan oleh Elinor Ostrom dan peneliti-peneliti the commons lainnya di berbagai negara seperti Jepang, Swiss, Filipina, Spanyol, dan lainnya. Lantas bagaimana dengan Indonesia?

Institusi Warisan Nusantara

                Ternyata kita beruntung, karena sesungguhnya institusi semacam itu telah diwarisi oleh nenek moyang kita. Ternyata suku-suku di nusantara, mulai dari Minangkabau, Jawa, Bali, Bugis, Ambon, hingga Papua dan lainnya, memiliki institusi tradisional yang mengatur penggunaan sumber daya secara kolektif; jauh sebelum Elinor Ostrom melakukan penelitiannya yang dihargai Nobel itu. Penulis akan mengambil contoh suku di ujung barat dan timur Indonesia: Minangkabau dan Maluku.

Di Minangkabau, terdapat konsep harato pusako (Amir M.S, 1997), yang mengatur penguasaan sumber daya utama seperti sawah, ladang, tanah, dan harta benda lainnya yang dimiliki secara kolektif oleh keluarga besar, serta dimanfaatkan dengan mekanisme institusi adat. Segala keputusan akan harta tersebut harus berdasarkan musyawarah bersama, mencegah individu untuk mengambil keuntungan egoistik jangka pendek. Harato pusako tersebut juga tidak dapat dijual begitu saja ke pihak lain, karena peraturan adat telah mengatur bahwa harta tersebut hanya boleh dijual dalam kondisi-kondisi tertentu yang diatur adat, atau keadaan mendesak.

Tidak jauh berbeda, di Maluku, terdepat konsep sumber daya petuanan (Matuankotta, 2013)  yang juga dimiliki secara kolektif oleh masyarakat dan untuk dimanfaatkan bersama. Sumber daya yang diatur tidak hanya di darat tetapi juga di laut. Dalam pemanfaatan nya terdapat sistem sasi yang melarang keras pemanfaatan sumber daya pada waktu-waktu tertentu, yang bertujuan untuk menjamin kelestarian sumber daya tersebut. Bahkan ada sasi abadi untuk menjaga kelestarian hutan-hutan primer, bakau, dan satwa-satwa tertentu yang perlu dilindungi.

Kedua contoh di atas memperlihatkan bahwa institusi kolektif masyarakat yang oleh Ostrom dijelaskan sebagai pihak yang paling baik dalam menguasai dan memanfaatkan sumber daya, telah eksis di Indonesia. Bahkan mereka telah sejak ratusan tahun yang lalu mengimplementasikan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang baru belakangan ini menjadi pegangan utama negara-negara maju.

Pengakuan Negara

                  Tetapi sayangnya, keberadaan institusi kolektif masyarakat tersebut yang secara tradisional menguasai sumber daya di nusantara, semakin terlupakan dan tergerus. Pengakuan negara akan kepemilikan kolektif masyarakat yang lama absen, memaksa aset-aset bersama tersebut harus disertifikasi atas nama individu agar diakui secara hukum, atau tidak bersertifikat sama sekali. Hal tersebut akhirnya mendorong kerusakan institusi-institusi kolektif masyarakat yang telah ada sejak awal.

Sesungguhnya pemberian penguasaan sumber daya kepada masyarakat secara kolektif merupakan salah satu langkah dalam melaksanakan Nawacita untuk “membangun Indonesia dari pinggir”. Syukur, saat ini pemerintah telah berjalan ke arah positif. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN tentang penetapan hak kolektif atas tanah adat merupakan langkah awal yang baik.

Ke depannya, penguasaan oleh institusi kolektif masyarakat harus mulai digalakkan kembali, institusi-institusi kolektif tradisional yang telah keropos atau bahkan mati, harus dihidupkan; karena terbukti dengan cara begitu kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Kita harus berterima kasih kepada Elinor Ostrom karena dia telah membuat konsep “tradisional” ini memiliki legitimasi ilmiah yang diakui dunia (Nobel). Karena itu, saat nya negara memberikan perhatian lebih dan membangun kembali model pemanfaatan sumber daya kolektif masyarakat, sebuah warisan nusantara yang terlupakan ini.

 

Bogor, 22 Februari 2016

Muhammad Azka Gulsyan

Alumni Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB

Tinggalkan komentar