Perkotaan vs. Pertanian

Oleh: Muh. Azka Gulsyan

Rencana pembangunan Bandung Teknopolis oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil kembali mencuat perdebatan isu lingkungan. Satu poin yang menarik dari Walhi Jabar yang meminta rencana ini dikaji kembali adalah soal akan hilangnya lahan pertanian yang ada di kawasan Gedebage. Sesungguhnya ini merupakan perdebatan lama dalam pembangunan perkotaan, karena pembangunan perkotaan yang mayoritas hampir selalu didominasi oleh sektor industri, jasa, perdagangan, dan perumahan akan memakan habis lahan-lahan pertanian yang ada; sehingga memunculkan dua kubu yang saling bertentangan. Perlukah sesungguhnya perdebatan ini?

Bagi kubu yang mendukung pembangunan perkotaan, menghilangnya kawasan pertanian merupakan dianggap memang sudah sewajarnya terjadi atau merupakan konsekuensi yang harus diambil demi pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejateraan masyarakat. Sedangkan bagi kubu yang tetap mau bertahan dengan pertanian, isu-isu lingkungan atau ketahanan pangan selalu menjadi basisnya. Yang jarang kita sadari adalah, perdebatan tersebut sesungguhnya terjadi karena adanya mindset bahwa kawasan pertanian (dalam arti luas, termasuk kebuh, ladang, tambak dll) dan kawasan perkotaan (yang dalam hal ini merujuk kepada gedung-gedung tinggi, perumahan padat, aktivitas perdagangan dan jasa, industri, dll) adalah suatu hal  yang memang harus terpisah sedari awal. Benarkah?

Pengaruh Barat

Perdebatan tersebut sebenarnya merupakan suatu ekses dari pengaruh tata ruang model barat yang begitu berpengaruh dalam tata ruang di Indonesia. Tata ruang model barat selalu menggariskan batas yang tegas antara kawasan perkotaan dan pertanian. Akar dari pola tersebut dapat dilihat dari sejarah kota-kota Eropa semenjak abad pertengahan (Home, 1997). Kota-kota mereka berada pada kawasan pusat wilayah dan memiliki tembok pembatas kota yang tegas. Kemudian disekeliling kota tersebut barulah terdapat lahan-lahan pertanian yang mensuplai bahan-bahan makanan kepada penduduk kota yang berada di dalam tembok batas kota. Pola tersebut terus berlanjut hingga mempengaruhi penataan ruang dari kota-kota modern di negara-negara barat; yang karena kolonialisme serta dominasi ilmu pengetahuan di abad 20, membuat gagasan tersebut tersebar ke berbagai negara lainnya, termasuk Indonesia.

Tetapi terdapat sebuah temuan menarik dari seorang profesor dari Universitas Tokyo, Makoto Yokohari. Dalam penelitiannya, dia menemukan fakta bahwa ternyata kota-kota di Asia menunjukkan pola yang sama sekali berbeda. Dalam sejarah kota-kota di Asia, kawasan pertanian dan perkotaan bercampur baur tanpa batas yang tegas. Dia mencontohkan bahwa Kota Tokyo pada zaman Edo (Abad ke-18), hampir 50 persen dari kawasannya merupakan area pertanian. Dan kedua hal tersebut tidak saling menegasikan, tetapi justru terjalin hubungan saling menguntungkan antara aktivitas perkotaan dengan pertanian yang berada dalam batas kota: penduduk kota secara umum mendapatkan suplai makanan segar dan berkualitas, dan petani (yang juga penduduk kota) mendapatkan suplai bahan dasar pupuk (night soil) dari aktivitas manusia yang padat. Pola itu masih dapat terlihat di pinggiran Tokyo saat ini.

Indonesia pun memiliki pola yang sama. McGee (1991) yang melakukan penelitian di kota-kota di Indonesia dan juga kota-kota lain di Asia Tenggara, menemukan fakta serupa. Dia melabelkan pola tersebut menggunakan frase dari Bahasa Indonesia, yakni desakota. Desakota merupakan area di mana bercampurnya karakteristik perdesaan—yang didominasi dengan pertanian—dengan karakteristik perkotaan. Temuan ini menunjukkan bahwa perkawinan antara pertanian dan perkotaan di Indonesia merupakan fenomena yang telah akrab di masyarakat kita.

Perubahan Paradigma Penataan Kota

Pola penataan kota yang berbeda pada kota-kota di Asia tersebut, ternyata ditemukan sangat berkolerasi positif dengan tercapainya pembangunan perkotaan yang berkelanjutan (urban sustainability), yang kini menjadi perhatian dunia semenjak PBB menggagas Sustainable Development Goals (SDGs).

Pola penataan kota ‘model asia’ ini menunjukkan bahwa keberadaan zona-zona pertanian di antara kawasan perkotaan membuat kota dapat menjaga ekologi kota menjadi lebih baik, sperti membangun iklim lokal kota, menangkal polusi, konserasi tanah, daur ulang kotoran dan nutrisi, dan lainnya. Model ini di saat bersamaan membuat kota tidak bergantung sepenuhnya kepada suplai makanan dari luar terutama di saat-saat bencana dan kritis yang memutus rantai pasok.

Yokohari (2010) pun kemudian menggagas sebuah paradigma baru dalam penataan kota, yang dia sebut sebagai new pro-urban agriculture planning paradigm (paradigma baru perencanaan pro-pertanian perkotaan). Paradigma baru tersebut mendorong para perencana kota untuk tidak lagi hanya membuat zonasi-zonasi yang mengkotak-kotakkan kota menjadi zona-zona yang terbagi dengan tegas seperti saat ini yang terpengaruh model barat, termasuk di Indonesia, tetapi juga menyediakan zona baru yang merupakan zona-zona kawasan campuran, sebuah zona hibrid, di mana area pertanian dan perkotaan hidup secara berdampingan. Ini merupakan pendekatan yang perlu untuk dijalankan demi membuat kota menjadi lebih berkelanjutan.

Bandung Teknopolis dan Kota Berkelanjutan

Kota Bandung sesungguhnya tidak lepas dari ‘kota-kota Asia’ dalam model di atas. Lebih dari sepuluh persen dari luas wilayah Kota Bandung merupakan kawasan pertanian (data BPS dan Kementerian Pertanian, 2015), yang secara absolut luas tersebut lebih besar dari kota-kota metropolitan lainnya di Jawa Barat, juga dibandingkan dengan kota-kota metropolitan besar lain seperti Jakarta dan Surabaya. Keberadaan lahan pertanian tersebut—yang sebagian besar berpusat pada Bandung bagian selatan dan timur—merupakan aset yang harus dimanfaatkan untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) dari Kota Bandung seperti yang dijelaskan paradigma baru di atas.

Karena itu peringatan dari Walhi Jabar patut untuk dipertimbangkan. Penulis tidak bermaksud untuk menolak gagasan Bandung Teknopolis. Itu merupakan ide yang sangat brilian, yang jika terwujud, dapat membuat Bandung dan juga Jawa Barat memiliki peran sentral dalam peningkatan daya saing Indonesia di dunia. Tetapi tentu kita juga tidak ingin kota kita menjadi tidak lagi layak untuk ditinggali oleh anak cucu kita kelak.

Karena itu, ‘sepuluh persen’ lahan pertanian tersebut merupakan aset berharga bagi Kota Bandung, yang harus benar-benar dipikirkan akan bagaimana nasibnya dengan pembangunan perkotaan skala besar ini, entah dipindahkan atau diganti dengan sebuah inovasi pertanian baru (seperti pertanian vertikal, misal). Sehingga, selain akan menjadi pusat inovasi dengan Bandung Teknopolis, Bandung juga harus dapat menjadi contoh sebagai kota yang dapat menjaga keberlanjutannya, menjadi contoh dari kota yang sukses mencapai urban sustainability.

Karenanya, mencari jalan agar area pertanian yang ada saat ini dapat berdampingan dengan aktivitas dan pembangunan perkotaan lainnya—termasuk Bandung Teknopolis, merupakan langkah awal yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.

Bogor, 12 Maret 2016

Muhammad Azka Gulsyan

Alumni Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB

Tinggalkan komentar