Apakah mereka benar-benar miskin?

Beberapa waktu yang lalu saya melakukan obrolan yang sangat membuka pikiran bersama salah seorang kawan saya. Saat itu saya abis mengikuti suatu diskusi menarik di kampus.  Dalam diskusi tersebut, ada sebuah pendapat dari salah seorang peserta diskusi yang beraliran kiri, yang mengecam negara-negara yang sudah sejahtera namun dia anggap mencapai ‘masyarakat tanpa kelas’. Dia pun memuji negara-negara yang dianggap telah menuju masyarakat tanpa kelas meski tingkat kesejahteraan nya masih di bawah ‘negara-negara sejahtera yang masyarakatnya masih berkelas-kelas’ itu.

Dengan spontan muncul pertanyaan dalam otak saya, “bukankah yang kita tuju itu adalah masyarakat yang sejahtera? Apa lagi masalahnya jika masyarakatnya sudah sejahtera? Mengapa harus dipaksa untuk menjadi masyarakat tanpa kelas? Bukankah suatu keniscayaan dan itu telah terjadi sepanjang sejarah bahwa manusia itu terbagi menjadi kelas-kelas? Apa semua manusia harus dipaksa menjadi satu kelas yang sama?

Namun diskusi saya dengan dia tidak membuahkan hasil. Dan saya menanyakan hal tersebut ke salah seorang teman saya, yang saya anggap jauh lebih bijaksana dan tidak terpatok pada satu pemikiran tertentu.

“Di Jerman, gembel pun sejahtera.”, ujarnya memulai. “Tidak ada pengamen-pengamen atau gembel-gembel yang miskin seperti di kita. Mereka semua mendapat tunjangan dari pemerintah, dan oleh karena itu mereka dapat hidup berkecukupan. Tapi apa kesejahtetaan seperti itu yang kita inginkan?”

Saya tidak dapat menjawab.

“Dulu aku pernah membantu petani di pedalaman sana (dia menyebut satu daerah yang saya lupa namanya). Mereka sedang melakukan perlawanan terhadap sebuah korporasi besar yang berusaha mencaplok lahan pertanian mereka. Dan kau tahu, mereka benar-benar rala mati untuk mempertahankan lahan mereka. Padahal kedatangan korporasi itu bisa membuka lapangan pekerjaan, dan bisa memberikan pendapatan yang lebih besar dari pada bertani. Tapi kenapa mereka rela mati demi mempertahankan lahan pertanian mereka? Bukankah korporasi tersebut dapat memberikan kesejahteraan bagi mereka?”

Saya kembali tidak bisa menjawab.

“Kau tahu, bila kita lihat, mereka memang hidup dalam kondisi yang sangat miskin. Tapi siapa yang menyebut mereka miskin? Apakah diri mereka sendiri? Tidak! Mereka tidak pernah merasa dirinya miskin. Kitalah, orang-orang kota, yang merasa kaya ini, yang telah mengecap dengan semena-mena bahwa mereka adalah miskin.”

“Kita selalu menganggap bahwa kehidupan yang sejahtera itu adalah yang seperti kehidupan orang-orang kota lakukan. Memiliki uang, mobil, handphone, laptop, tv, credit card. Bisa shopping di mall, nonton bioskop, karaokean, makan di restoran, berwisata, dan berbagai pernak-pernik kesejahteraan versi kita. Tapi apakah itu yang mereka butuhkan?”

Sekali lagi, aku tidak tahu jawabannya.

“Kesejahteraan bagi mereka adalah dengan berladang di lahan pertanian mereka, yang telah mereka lakukan sejak zaman nenek moyang nya. Itulah kesejahteraan versi mereka. Mungkin orang kota melihatnya sebagai hal yang tidak masuk akal. Tapi bagi mereka, mengorbankan ladang untuk memperoleh uang adalah jauh lebih tidak masuk akal. Sehingga mereka rela mati untuk mempertahankan ladangnya. Mereka tidak butuh uang banyak, rumah besar, mobil dan berbagai simbol kekayaan versi kota tersebut. Tapi yang mereka butuhkan adalah: Lahan pertanian. Titik! Karena itu, pencaplokan lahan-lahan oleh korporasi-korporasi besar, meski atas nama membawa “kesejahteraan” bagi masyarakat setempat, merupakah ‘pemiskinan’ kehidupan orang-orang asli di sana.

Jadi yang paling mengetahui apakah seseorang itu miskin atau tidak adalah diri mereka sendiri. Jangan pernah kita menganggap semua golongan harus memiliki kehidupan seperti kita, orang-orang kota, sehingga layak disebut sejahtera. Karena setiap golongan masyarakat memiliki parameter kekayaan nya sendiri. Oleh karena nya, jangan pernah mengecap seseorang itu miskin, kecuali kau memang mengetahui bahwa ada perasaan rendah diri dari diri mereka.

Namun kini, dapat kita saksikan bagaimana televisi dan media-media telah berhasil menanamkan stereotip bahwa kehidupan sejahtera adalah kehidupan dengan rumah mewah, mobil mewah, dan kehidupan bak sosialita. Itu lah yang membuat semakin bertambah golongan-golongan yang ‘rendah diri’, yang merasa miskin, karena stereorip lama mereka mengenai sejahtera mulai terganti dengan stereotip sejahtera baru versi kota baru. Hingga orang-orang mulai berbodong-bondong mencari materi, yang mulai dianggap sebagai satu-satu nya pembuat kesejahteraan…

………………….

Tapi masih ada satu pertanyaan mengganjal di kepala saya. Bila pandangan yang saya kemukakan di atas adalah benar, bukankah berarti pemerintah tidak perlu mengupayakan “kesejahteraan” kepada mereka? Maksdunya, kita biarkan saja orang-orang hidup di hutan sana, toh mereka sudah merasa sejahtera dengan kehidupannya di hutan. Jadi kita biarkan saja mereka tidak mengecap ‘peradaban modern’ yang kita (orang-orang kota) nikmati sekarang. Bukankah begitu?

Saya masih mencari jawabannya. Mungkin seseorang yang telah menemukan jawaban itu bisa membantu saya .

4 pemikiran pada “Apakah mereka benar-benar miskin?

  1. Ka, kayanya Azka harus baca bukunya Jefrie Sach deh…The Price of Civilization…menarik analisanya tentang kesejahteraan atau well being. Dia mengkritik teror TV terhadap keinginan manusia, menyajikan hasil riset hubungan antar lama suattu masyarakat nonton TV dengan korupsi, kualitas pendidikan, dll.

    Dia juga memaparkan perbedaan antara kebijakan ekonominegara=negara maju yang menyimpulkan bahwa negara-negara yang mengenakan pajak tinggi terhadap orang kaya ternyata lebih tinggi tingkat kesejahteraannya, pendidikannya, dll.

    Buku jadi tambah menarik karena JS adalah ekonom yang masuk jaringan neolib semasa pemerintah Bush Jr, tetapi justru setuju dengan big government yang ditentang kaum neo con. Di akhir dia menyarakan bagaimana pemerintah harus dimanage, diantaranya dengan menetapkan goals yang terukur dan orientasi pada well being, bukan ukuran-ukuran klasik makro ekonomi seperti pertumbuhan dan pendapatan per kapita.

  2. mencoba menjawab pertanyaan terakhir dg versi saya:
    kita melihat sebuah negara sebagai sistem. dalam sebuah sistem, entitas/subsistem yg ada di dalamnya akan saling terkait. misal tubuh kita, kalau kepala pusing yg bermasalah bsia kaki. kok bisa? karena kepala pusing maka badan akan goncang, dan goncangan itu yang bergerak adalah kaki. begitu juga negara, jika para korporasi bergerak semaunya apakah tidak akan mempengaruhi lahan pertanian? jika orang kota bergerak semaunya, apakah masyarakat desa tidak terpengaruh? itu lah tugas negara, menyelaraskan agar ada sinergi gerak antara masyarakat desa dan kota, masyarakat petani, pedagang, korporasi, dan konsumen.

      1. selaras bukan hanya dari sudut pandang salah satu pihak tapi dari sudut pandang pemimpin karena pemimpin yg lebih tahu kondisi sistemnya. masalahnya, bisa tidak (atau lebih tepatnya mau atau tidak) pemimpin kita menyelaraskan? *ga usah dijawab* 😀

Tinggalkan Balasan ke Medrial Alamsyah Batalkan balasan