momentum hari lahir

Minggu, dua hari setelah 1 Agustus 2014.

Ada apa gerangan? Bukan sesuatu yang besar. Aku hanya baru saja melewati titik penambahan usia hidup yang telah memasuki tahun ke 21 semenjak 1 Agustus 1993. Tidak ada perayaan berlebihan. Pagi hari diawali dengan membaca pesan dari orang yang bersedia mengirimkan ucapan selamat di tengah malam pergantian menuju hari lahir ini, di saat aku tertidur pulas di loteng rumah Uwo ku di Bandung, serta ucapan-ucapan lain yang datang kemudian.

Bagi sebagian orang, momen ulang tahun ini adalah momen yang begitu spesial. Banyak dari mereka yang merayakan nya dengan keluarga atau teman-temannya, bahkan tidak jarang yang mengadakan pesta untuk momen ini. Aku bukan orang yang menolak itu, tapi juga tidak ingin berlebihan terhadap nya. Karena ternyata terdapat beberapa kelompok di negeri ini yang tidak memperdulikan sama sekali masalah hari kelahiran ini, bahkan lupa kapan persisnya mereka lahir. Ini pun terjadi di orang-orang di kampung Ayah ku di Talawi, Sumatera Barat. Perayaan ulang tahun merupakan sesuatu yang tidak biasa di sana, karena mengingat hari nya pun bahkan tidak. Dalam suatu artikel, aku pernah membaca bahwa seorang Gus Dur pun ternyata tidak ingat persis saat ditanya berapa usia nya. Seorang nenek di kampung belakang perumahan ku dengan asal menjawab 105 saat ditanya berapa usianya, yang membuat aku yakin dia tidak menghitung usia dia hidup, terlebih melakukan pereyaan ulang tahun.

Berbagai kebudayaan dan agama memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai hari ulang tahun. Bangsa Romawi terbiasa merayakan ulang tahun dengan antusias dan pesta-pora. Mungkin ini asal mula kebiasaan merayakan ulang tahun di dunia barat. Sedangkan bangsa Yahudi menganggap hari ulang tahun sebagai hari yang spesial karena pada saat itu doa seseorang akan terkabul. Sedangkan islam memandang perayaan ulang tahun sebagai seusatu yang bersifat dibolehkan. Memang pada awalnya tidak ada tradisi pereyaan ulang tahun oleh umat islam. Namun pada abad pertengahan, Sultan Salahuddin Al-Ayubi, seorang pahlawan Islam, membuat suatu gagasan bahwa semangat juang umat islam harus ditingkatkan  dengan cara meningkatkan kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Akhirnya pada 12 Rabiul Awal, hari kelahiran Nabi SAW, dilakukan perayaan besar-besaran secara massal oleh Islam di seluruh dunia, yang dikenal dengan Maulid Nabi.

Akhirnya, dari berbagai tradisi dan kebiasaan tersebut, aku melihat bahwa garis utama dari hari lahir ini adalah: momentum. Momentum untuk apa? itu tidak pasti. Akan kita gunakan sebagai apa momentum ini, itu tergantung kepada kebijaksanaan dari masing-masing kita. Ada yang mengabaikannya, ada yang bersukatcita karenanya, ada yang mendoa, dan ada yang menanfaatkannya untuk pembawa semangat baru.

Sedangakan diriku sendiri akan menggungakan momentum ini sebagai checkpoint hidup, waktu di mana aku dapat berhenti sejenak, dan mencoba melihat secara jernih hidup yang dijalani selama ini, dan yang akan dijalanai setelah nya. Sebelum kembali menceburkan diri dalam arus kehidupan.

Tapi terlepas dari semua itu, momentum yang aku dapatkan untuk ke-21 kali ini sedikit spesial, karena aku mendapatkan sesuatu, yang bukan materi, tetapi kata-kata. Kata-kata doa, selamat, ataupun harapan. Kata-kata dari sahabat-sahabat di sekeliling ku yang dikumpulkan oleh mereka yang terdekat. Apa yang spesial dari kata-kata? Secara materi memang tidak berarti. Tetapi bagiku ini jauh lebih berharga dari hadiah materi entah berapapun tinggi harganya. Karena materi akan hilang dengan berjalannya hari, sedangkan kata-kata dapat abadi dalam memori.

“Selamat ulang tahun Azka..
Semakin dekat jalanmu pulang..
Semakin sedikit waktu yg kamu punya. Nabi Yusuf pernah berdoa “wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yg shalih” QS. Yusuf:101)”

*salah satu kata-kata yang paling aku sukai dari hadiah kumpulan kata-kata buatan sahabat-sahabat ku: http://azkagulsyan21.tumblr.com/

Dari tempat duduk favorit di teras rumah,

Muhammad Azka Gulsyan

BERDIKARI dan Domestic Resource Mobilization

Ternyata sudah lebih dari dua bulan saya tidak menyentuh blog ini. Dan tulisan terakhir saya masih seputar percintaan haha. Tapi tidak apa-apa, urusan cinta juga penting. Tapi kali ini saya ingin bercerita tentang hal lain. Jadi ceritanya beberapa hari kemarin saya disibukkan oleh pembuatan essay untuk sebuah seleksi konferensi, temanya mengenai sustainable development. Meski saya pribadi tidak puas dengan essay tersebut, tapi hikmahnya saya menemukan konsep baru yang saya pikir cukup menarik: Domestic Resource Mobilization (selanjutnya kita singkat DRM aja). Pernah dengar?

Bagaimana dengan BERDIKARI? Saya rasa kita semua pernah mendengar tentang kalimat terkenal bung Karno tersebut, Berdiri Di Atas Kaki Sendiri. Lalu apa hubungannya dengan DRM? Ini yang membuat saya tertarik. Saat saya membaca jurnal mengani DMR ini, pikiran saya secara ototmatis mengarah kepada suatu kesimpulan: ini sangat mirip dengan ide BERDIKARI. Tapi tunggu dulu, saya tidak bermaksud mengatakan si pembuat DMR itu plagiat. Tapi yang menarik adalah, DMR ini dapat dikatakan seperti perumusan ilmiah dari konsep BERDIKARI.

DRM ini, seperti namanya, adalah konsep dimana pembangunan yang dilakukan memanfaatkan sumber (resoure) dari dalam (domestik). Jadi pembangunan yang dilakukan tidak bergantung pada sumber-sumber eksternal seperti Foreign Direct Investment, pemasukan dari hasil ekspor, bantuan dan asisteni teknis dari luar negeri, dan dana pinjaman luar negeri. Sebaliknya, sumber yang digunakan adalah sumber-sumber domestik seperti simpanan rumah tangga, profit perusahaan domestik, pajak, dan pendapatan publik lainnya. 

DRM dianggap dapat menjadi solusi penggunaan dana eksternal yang ternyata sering kali merugikan negara-negara berkembang. Sumber-sumber eksternal gagal melakukan pembangunan yang berkelanjutan karena penggunaan dana tersebut seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan juga dengan konteks histori dan geografi dari negara yang menerima sumber tersebut. Misal untuk FDI, dana investasi hanya akan masuk pada sektor-sektor yang menarik bagi investor, sedangkan sebagian besar negara-negara berkembang sebagian besar merupakan negara yang mengandalkan sektor agraris, sektor yang kurang diminati oleh investor. Alhasil akhirnya negara tersebut terpaksa melakukan pembangunan di sektor lain meski sebenarnya kebutuhan utamanya adalah dalam sektor agraris. Contoh lainnya adalah kota-kota yang dibangun dari dana perusahaan minyak. Akhirnya pembangunaan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dari perusahaan minyak tersebut, bukan masyarakat setempat. Contoh tersebut dapat dilihat di Kota Tembagapura Papua. Contoh lainnya adalah dalam pinjaman luar negeri yang seringkali dibarengi dengan syarat-syarat tertentu. Kasus riil nya dapat kita lihat saat Indonesia mendapatkan dana bantuan IMF saat krisis 1998. Saat itu IMF memberikan pinjaman luar negeri dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia, syarat-syarat yang dianggap solusi bagi perekonomian Indonesia, meski banyak dari syarat tersebut yang kontroversial dan dianggap tidak sesuai dengan konteks Indonesia. Juga seperti dana-dana pinjaman dari Jepang untuk pembangunan jalan di Jakarta, meski sebetulnya yang dibutuhkan oleh Jakarta adalah pembangunana transportasi massal. Dan kalo kita sedikit suudzon, penambahan jalan akan berakibat pada kenyamanan menggunakan kendaraan pribadi, sehingga akan menaikkan permintaan mobil dan motor, dan saya rasa kita semua tahu dari mana kita membeli kendaraan kita. Pemerintah pun, termasuk pemerintahan yang demokratis sekalipun, akhirnya tidak punya pilihan lain karena pilihan yang tersedia adalah membangun dengan mengikuti berbagai syarat lain atau tidak melakukan pembangunan. Bahkan dalam suatau penelitian dinyatakan bahwa ketergantungan terhadap dana ekternal ini akan memicu korupsi dan penyimpangan hukum.

Oleh karena itu, dengan DRM pembangunan yang dilakukan dapat sesuai dengan kebutuhan dan konteks di negara terkait. Kesesuaian dengan konteks negara tersebut sangat penting karena sebutulnya tidak ada pakem ideal dalam melakuakn pembangunan. Semua negara memiliki ciri khas masing-masing sehingga memiliki kebutuhan dan pendekatan yang berbeda pula. Dengan DRM Pemerintah dan masyarakat menjadi memiliki kuasa atas pilihan pembangunan yang dilakukan. Selain itu tidak akan ada ketergantungan terhadap keadaan yang terjadi di luar. Dengan kata lain permbangunan yang dilakukan dapat lebih berkelanjutan.

Tapi masalahnya adalah, bukankah sumber domestik yang tersedia tidak mencukupi untuk melakukan pembangunan? Ternyata tidak juga, karena ternyata banyak trade off  antara penggunaan sumber eksternal dan domestik. Misal untuk memicu perdagangan luar negeri dilakuakn pengurangan tarif, lalu rangka mengundang FDI maka dilakukan pengurangan pajak bagi korporasi. Sehingga jika kita ingin mengurangi ketergantungan dari FDI misalkan, maka pajak dapat dinaikkan sehingga pendapatan dari pajak ini dapat menutupi kerugian dari pengurangan FDI namun negara mendapat keuntungan-keuntungan  DRM seperti yang dijelaskan di paragraf di atas.

Itu sedikit penjelasan mengenai DRM , dan saya tidak bermaksud membahasnya secara mendetail. Tapi dari sini dapat kita lihat betapa konsep DRM ini sangat sesuai dengan ide BERDIKARI. Ide BERDIKARI ternyata sangat visioner melampaui zaman. Betapa hebatnya founding fathers kita yang telah mencetuskan ide ini jauh sebelum muncul konsep DRM dalam diskusi ilmiah. Kita seharusnya berbangga bangsa ini didirikan oleh manusia-manusia yang luar biasa. Sudah saatnya kita lebih menghargai lagi warisan pemikiran-pemikiran dari para pendiri bangsa dan dari berbagai kearifan yang ada di Indonesia, jangan hanya silau dengan berbagai konsep-konsep barat semata. Dan yang lebih penting lagi, di umur NKRI yang telah menyentuh angka 68 ini, sudah saatnya Indonesia dapat BEDIKARI, Berdiri Di Atas Kaki Sendiri !

Muhammad Azka Gulsyan

Jumat, 10 Januari 2014

pukul 00.27 WIB

*sebagian besar informasi mengenai DRM diambil dari jurnal karya Roy Culpeper and Aniket Bhushan, 2008.

“Jadi?” tanya kamu merusak diam kita.

“Jadi apa?”

 “Jadi, kamu tidak sedih?” memperjelas pertanyaan sembari menatap ku.

Aku menyenderkan kepalaku ke tangan kiri, dan mengaduk-ngaduk teh tarik ku dengan tangan kanan. “Entahlah. Sebagian besar lamunanku mungkin memang tentang kamu. Tapi aku tidak yakin apakah aku sedih. Lagi pula…” Aku diam sejenak, mencoba mencari kata yang tepat.

“Lagi pula apa?” tanyamu tidak sabar.

“Lagi pula yang akan berpisah hanyalah fisik kita”

“Maksud kamu?”

“Maksud aku, ya hanya fisik kita yang berpisah. Dan selama ini hubungan kita tidak begantung dengan kontak fisik, kan? Maksudku, kita memang sembari awal jarang bertemu secara fisik, apalagi bersentuhan. Jadi  aku berfikir seharusnya berpisah secara fisik bukanlah suatu masalah besar.”

“Teori yang bagus, kamu memang pandai berteori.” Jawab kamu, sambil tersenyum tipis dan memainkan cangkir kopi hitam mu.

“Tentu saja, karena itu aku mau menjadi dosen hehe” Kataku sembari tertawa ringan, yang juga diikuti oleh kamu.

“Kalau begitu aku harus pandai mengungkap fakta haha.”

“Jadi, apa fakta yang akan kamu ungkap?” tanyaku menggoda.

“Fakta bahwa, nanti kamu akan menangis?”

“Haha lupakan saja. Aku tidak akan menangis. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali menangis. Tapi bukankah itu sudah jadi fakta dirimu?”

“Sial” katamu, tersenyum sesaat, lalu kembali memainkan cangkir kopi hitam mu.

“Tapi menangis itu baik.”

Kamu hanya tersenyum tanpa menatap. Lalu kembali diam.

“Jadi..”

“Apa?”

“Sampai kapan kita membohongi diri kita?”

“Maksud kamu?”

“Aku rasa teori mu salah.”

Aku kembali diam. “Mungkin. Aku rasa aku terlalu banyak menggunakan asumsi yang kurang kuat.”

“Bukan itu maksudku.” Ujarmu, menandakan gagalnya upaya pembelokan yang aku lakukan.

“Baiklah, aku mengerti. Soal itu aku hanya bisa bilang,

bersabarlah. Nanti akan ada waktunya.”

 

Lalu kita kembali menikmati diam. Entah mengapa langit Jakarta malam ini terasa sejuk.

Soal Melamun

Entah kenapa hari ini kepala saya terasa sangat berat, otot-otot terasa kejang, dan tubuh terasa akan demam namun tidak kunjung demam. Meriang? Mungkin itu kata yang paling tepat, meski saya tidak tahu juga apa yang sedang terjadi. Diperparah dengan kondisi perut yang tidak menentu. Masalah perut ini diawali oleh insiden kemarin dini hari, dimana tiba-tiba saya terbangun dengan kondisi sangat mual, hingga akhirnya mengeluarkan seluruh gulai otak yang saya makan malam sebelumnya. Mungkin saya tertular ayah saya, tapi sakitnya tidak disertai permasalahan pencernaan. Namun setidaknya, kemarin saya mendapatkan perhatian dengan porsi cukup besar dari bunda saya. Perhatian, sesuatu yang sering saya harapkan namun selalu terhalang gengsi untuk memintanya.

Kondisi ini membuat saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk membaca dan melamun, karena adalah ini dua aktivitas paling minim energi. Melamun, bengong, merenung, atau berimajinasi, atau entah apa padanan kata yang tepat . Kegiatan aneh ini entah mengapa sering saya lakukan. Tapi saat melamun inilah ide-ide brilian sering muncul. Saat kecil dulu sebelum saya mengenal nikmatnya membaca, waktu senggang saya hampir selalu saya gunakan untuk melamun sendiri, mengimajinasikan berbagai hal, dan disertai oleh gerakan tangan dan bunyi-bunyian. Sekarang salah satu kebiasaan saya di rumah adalah duduk bangku teras, membaca, diselingi oleh lamunan, tentu tidak ada lagi gerakan tangan dan bunyi-bunyi khayalan bocah. Dan sepertinya kebiasaan ini juga dilakukan oleh ayah saya. Bedanya, dia ditemani oleh hangatnya asap rokok. Terkadang saya berharap ayah saya cepat menyelesaikan ‘aktivitas teras’ nya agar saya bisa melakukan kebiasaan saya. Karena sangat tidak nyaman melakukan kebiasaan itu seecara bersamaan. Dan sepertinya kami berdua sepaham soal itu.

Tapi anehnya, entah mengapa, beberapa teman-teman saya kini sering mengaitkan kegiatan melamun saya dengan rasa sedih. Sembari mengaitkannya dengan peristiwa perpisahan. Apa melamun selalu berkorelasi dengan rasa sedih? Saya tidak tahu dari mana logika ini muncul, toh melamun dapat dilakukan dalam kondisi hati apa saja. Saya rasa mereka hanya terlalu banyak nonton drama korea.

Obrolan tentang meragukan arus

“Jadi, kau ingin melakukan perubahan?,“ tanyamu sambil mencari-cari korek api di saku.

“iya,” jawabku singkat, sambil mengamati kau yang masih mencari-cari korek sambil memaki karena tidak juga ditemukan.

“sebentar, aku beli korek dulu,” lalu pergi degan emosi ke warung samping tempat kami minum. Kulihat dia memang aneh, pria jenius dengan emosi yang sangat labil. Tapi entah mengapa, di saat orang lain sering dibuat jengkel karena emosinya yang sering mendadak meledak, aku sangat nyaman berkawan dengannya.    

“jadi..”

“Jadi aku akan melakukan perubahan.”

“ah, iya benar, perubahan. Bagaiamana caranya?” tanya kau, seperti mengetes niat ku.

“hmm.. begini. Aku akan meragukan segala tradisi yang kini ada, lalu memikirkannya kembali sacara jernih, tanpa pengaruh pemikiran-pemikiran lama yang  mendarah daging dalam tradisi. Lalu aku akan memikirkan apa yang sebenarnya diperlukan dalam organisasi kita, dan menganggapnya benar bila memang benar-benar telah jelas dan bernalar. Dengan begitu kita akan mendapatkan ‘kebenaran’ mengenai apa yang sebenarnya diperlukan.” jawabku, berusaha menjawab sejelas mungkin.

“hmm, menarik.” Kau diam sejenak, menghisap rokok di tangan kanan mu tanpa ekspresi. Aku menunggu lanjutan kata dari mu. “Jadi kau mengadaptasi metode yang digunakan oleh Descartes dalam mencari kebenaran.” Katamu.

“Bisa dibilang begitu, meski aku tidak sepenuhnya yakin. Setidaknya buku kecil Descartes yang kau berikan menjadi salah satu inspirasiku dalam merancang ini. Aku tertarik dengan metode berfikirnya”

“Jadi, kau akan meragukan segala tradisi yang ada?”

“Yap”

“Kau sudah sangat yakin dengan sikapmu itu?”

“Apa maskdumu?”

“Maksudku, apa kau yakin segala tradisi dan ide yang telah ada di organisasi kita perlu untuk diragukan?”

“Setidaknya itu yang ku dapat dari buku Descartes,” aku berusaha membela diri.

“Persetan dengan Descartes. Aku tanya pendapatmu!”. Suara mu sedikit meninggi, kau mulai menunjukkan kelabilan emosimu.

“hmm..” aku berfikir sejenak. Memasang ekspresi berfikir agar menunjukkan bahwa aku berusaha menjawab dengan sungguh-sungguh, dan sepertinya upayaku berhasil  menurunkan kembali tingkat emosi mu. “hmm, yah sepertinya aku akan melakukan hal itu. Karena bila tidak, kita tidak akan pernah melakukan perubahan yang sejati. Kita hanya menjadi pengikut arus tradisi saja, yang kebenarannya bahkan patut dipertanyakan. Maksudku, bukan berarti tradisi yang ada semuanya salah, dan aku percaya saat tradisi itu diciptakan, pasti terdapat suatu tujuan baiknya. Namun seiring waktu banyak tradisi tersebut yang kehilangan esensinya dan menjadi rutinitas belaka.”

“Tapi apa kau tahu konsekensi dari tindakan mu?” tanya mu serius sambil menyalakan puntung rokok yang kedua. Aku meminum habis susu hangat ku.

“Memang apa? Aku belum menemukan konsekuensi yang begitu perlu diberikan perhatian.”

“Apa kau tak sadar? Dengan meragukan dan berfikir ulang secara jernih, kau akan merobohkan bangunan tradisi yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun. Memang benar, banyak dari bangunan itu yang telah kaprah penggunaannya, atau hasil yang terbentuk tidak sesuai dengan desain awal. Tapi apa benar perlu dirobohkan? Dan pertanyaan mendasar yang paling penting sebelum kau benar-benar melakukan niatanmu, apakah kau sanggup membangunnya kembali setelah kau robohkan?

Aku tertegun sejenak. Aku tidak pernah berfikir sampai sana. “Aku tidak tahu,” jawabku jujur.

“Pikirkanlah. Aku suka dengan semangatmu, tapi ingatlah pada akhirnya kau akan berbentur dengan realita. Begini, yang perlu dilakukan adalah kau keluar dari pusaran atau arus tradisi itu. Lalu dari luar sana, nilailah dengan jernih. Maka kau akan tahu mana yang benar mana yang salah. Tapi ingat, bagaimana pun kau hidup dalam pusaran terseut. Kau akan kembali ke realita, ke dalam pusaran. Saat kau akan membenarkan berbagai kesalahan yang ada, maka pusaran atau arus tersebut tidak akan sertamerta mengikuti mu. Hadangan akan menimpa dirimu. Sekarang, tinggal masalah seberapa kuat kau menanggung berbagai hadangan tersebut. ”

“Seperti Nabi Muhammad SAW yang menyendiri di gua Hira, keluar dari pusaran kehidupan Mekkah dan menemukan kebenaran. Lantas saat beliau ingin meluruskan pusaran kehidupan yang salah itu, jutaan hadangan menimpanya, bahkan nyawanya terancam.” Ucapku dengan spontan.

“Entahlah, aku tidak tahu apa-apa tentang nabi mu. Tapi ilustrasimu cocok.” Jawabmu. Menghisap rokok mu, dan melanjutkan. “Oh, dan satu lagi, aku tidak pernah memaksamu untuk melawan semua arus, dan itu sangat tidak perlu. Saat kau keluar arus untuk berfikir jernih, kau akan menemukan bahwa akan ada sisi benar dari arus tersebut, atau bahkan bisa jadi kau selama ini sudah berada pada arus yang tepat sehingga kau tinggal mengikutinya saja.”

“Menarik. Dari mana kau mendapatkan pemikiran itu?”

“Entahlah, aku sedang mempelajari pemikiran Nietzche, baru sedikit memang. Tapi sejauh ini, itu pelajaran yang bisa kupetik.” Jawabmu sambil meminum kopi hitam di depanmu, atau mungkin lebih tepat disebut jagung hitam?

“Boleh aku pinjam bukunya?”

“Tidak! Aku masih membaca. Dan setelah buku teori sosial ku kau hilangkan, sekarnag aku akan berfikir dua kali untuk meinjamkan buku pada mu,” sembari melempar puntung rokokmu ke selokan.

“haha baik-baik, nanti buku itu akan aku ganti,” jawabku enteng.

“ya terserah kau,” jawabmu sambil menyalakan puntung rokok ketiga. “ngomong-ngomong, bagaimana kabar teman mu itu?”

“Oh, jadi sekarang kita akan membicarakan wanita? Hehe. Bagaimana pendapat Niezche tentang ini?” tanyaku sambil tersenyum mengejek.

“Berisik kau!” jawabmu dengan sedikit membentak. Kau menjadi salah tingkah dan kami pun tertawa. Dan entah mengapa, kau menjadi begitu bodoh bila sudah berbicara tentang topik ini. Jenius yang aneh.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 

Soal ‘Pulang’

Akhirnya aku tidak jadi ‘pulang’ ke Bandung (penggunaan kata ‘pulang’ sekarang menjadi begitu rancu, apakah saat aku pergi ke Bogor atau pergi Bandung). Ibuku berhasil membujuk aku untuk menjaga ayah yang tengah demam, meski yang dimaksud ‘menjaga’ pun aku tidak terlalu mengerti, karena toh ayah terlihat tidak perlu dijaga dan akhirnya kami sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan ibuku  semenjak pukul tujuh pagi telah berangkat untuk mencari data entah apa di Jakarta, kegiatan yang membuat aku sempat memutuskan untuk pulang subuh saja. Meski setidaknya masih sempat membuatkan segelas teh tarik untuk ku. Tapi toh akhirnya di “rumah” ini aku menjalani aktivitas solo saja: main piano, baca buku, menulis, nonton tv, dan ngelamun (atau bahasa puitisnya: merenung hehe). Apa bedanya dengan di kostan? Mungkin tv.

Rumah KPP-IPB Baranang Siang IV B-12 ini memang makin hari semakin kehilangan cahayanya. Mungkin karena semua anak tidak lagi tinggal di sana, sudah tersebar ke Dramaga, Bandung, Depok, dan Sukabumi. Bukankah anak itu sumber cahaya keluarga? Wajar saja rumah ini semakin redup.  Begitu juga dengan komplek ini, kehilangan kehidupannya. Padahal dulu hampir setiap sore kami bermain bola di atas jalanan aspal komplek, dengan kaki telanjang, bola plastik dan gawang dari sendal jepit. Nyebur ke got atau memanjat pagar orang untuk mengambil bola sudah menjadi kebiasaan. Atau pada akhir pekan bermain di lapangan PLN,sebuah lapangan bola yang berjarak sekitar 100m dari komplek melalui jalan tembus belakang pura yang penuh dengan anjing. Lalu terkadang ngadu  dengan “anak kampung” (kata yang belakangan saya sadari begitu diskriminatif), yaitu anak-anak yang tinggal di permukiman padat seberang komplek. Tapi kebiasaan itu mulai redup semenjak berkembang bisnis lapangan futsal  dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak dari permukiman seberang itu kini bermain bola, karena mereka tidak mampu membayar lapangan futsal yang begitu mahal ini). Dan toh lapangan PLN itu pun sekarang telah disulap menjadi perumahan.  Dan kalau pun masih ada, seluruh anak komplek blok-B ini telah hilang semua dengan kesibukan masing-masing.

Jadi apa lagi yang tersisa dari rumah ini? Bahkan sistem kamar pun telah dirombak. Tidak ada lagi kamar aku dan Abyan di sini. Ruangan itu telah menjadi ruangan multifungsi dengan tumpukan barang-barang dan dokumen-dokumen. Daun sirih yang merambat lebat di halaman belakang pun telah dibabat habis entah karena apa, dan sekarang hanya tembok gersang yang bisa dilihat di belakang. Oh mungkin pohon mangga di halaman. Tapi lihatlah, dia pun tengah sekarat. Seluruh batangnya kini dirambat oleh sejenis parasit, dan daunnya tidak lagi selebat dulu, yang sering kali menghalangi “lapangan bulutangkis” kami. Ah aku tahu, mungkin satu-satunya yang masih tersisa, yang masih menjadi cahaya dari rumah ini adalah piano cokelat yang suaranya begitu jelita ini. Betapa asyiknya bermain dengannya.  Mungkin cuma dia penghibur satu-satunya saat sendiri di rumah.

….

Sepertinya kata ‘pulang’ kini lebih tepat digunakan untuk menyebut perjalanan ke Kota Bandung.

Pagi Aneh

Aku terbangun. Entah mengapa kasur yang ku tiduri terasa jauh lebih nyaman. “Oh benar, ini di rumah, bukan lagi karpet himpunan”.

Lalu aku berdiri, keluar kamar, dan disambut oleh senyuman dan ciuman bunda ku. Aku duduk di sofa. Mangambil ponsel untuk mencari beberapa informasi. Informasi yang Lalu berdiri. 

Menuju kursi piano. Membuka penutup, dan mencoba menekan tuts putih hitam ini. “Mengapa terasa begitu berbeda?”. Tutsnya terasa dangkal dan berat.  Mungkin karena aku telah menjadi terbiasa dengan tuts keyboard di kostan. Sial, padahal jauh lebih menyenangkan dengan piano.

Tiba-tiba ayah menyuruh ku berhenti sebentar, karena mau berbicara hal penting dengan kakak ku. Suara piano memang akan terdengar seisi rumah bila dimainkan.

Mereka selesai bicara. Aku mencoba melanjutkan. Diam. Lalu aku memikirkan nada-nada yang tepat. Ide tidak juga muncul. “Bodoh! Harusnya dalam urusan begini jangan kau pikirkan, tapi rasakan! Gunakan perasaan kau!”.

Benar. Aku coba keluarkan segala perasaan. Entah apa perasaan yang keluar ini. Senang? Sedih? Bingung? Bodoh? Bahagia? Cemas? Tenang? Yakin? Ah, sial, tidak jelas. Aku jadi tidak bisa menyalurkan perasaan ku lewat piano. Sial. Padahal ini adalah kegiatan yang paling aku rindukan setiap pulang.

Lalu aku mencoba memikirkan nada dan harmoni yang aku ingat. “Hey bodoh! sudah ku bilang percuma menggunakan pikiran keras kau untuk bermain piano”. Diam kau. Aku mulai menekan tuts-tuts yang keras dan dangkal. Kau dengar? Kau dengar nada dan harmoni itu? “Yah, aku mendengar nada dan harmoni, tapi dalam kehampaan”. Berisik kau. Siapa peduli hampa atau tidak? Yang penting aku dapat mengeluarkan lagu yang indah. “Kamu peduli”.

Bodoh. “Memang hidup penuh dengan kebodohan, bukan kah begitu?”

Kau memang sungguh bodoh.

“Baiklah, tidak apa bila ternyata aku bodoh, anak pintar” Dan kamu tersenyum. SIal.