Minggu, dua hari setelah 1 Agustus 2014.
Ada apa gerangan? Bukan sesuatu yang besar. Aku hanya baru saja melewati titik penambahan usia hidup yang telah memasuki tahun ke 21 semenjak 1 Agustus 1993. Tidak ada perayaan berlebihan. Pagi hari diawali dengan membaca pesan dari orang yang bersedia mengirimkan ucapan selamat di tengah malam pergantian menuju hari lahir ini, di saat aku tertidur pulas di loteng rumah Uwo ku di Bandung, serta ucapan-ucapan lain yang datang kemudian.
Bagi sebagian orang, momen ulang tahun ini adalah momen yang begitu spesial. Banyak dari mereka yang merayakan nya dengan keluarga atau teman-temannya, bahkan tidak jarang yang mengadakan pesta untuk momen ini. Aku bukan orang yang menolak itu, tapi juga tidak ingin berlebihan terhadap nya. Karena ternyata terdapat beberapa kelompok di negeri ini yang tidak memperdulikan sama sekali masalah hari kelahiran ini, bahkan lupa kapan persisnya mereka lahir. Ini pun terjadi di orang-orang di kampung Ayah ku di Talawi, Sumatera Barat. Perayaan ulang tahun merupakan sesuatu yang tidak biasa di sana, karena mengingat hari nya pun bahkan tidak. Dalam suatu artikel, aku pernah membaca bahwa seorang Gus Dur pun ternyata tidak ingat persis saat ditanya berapa usia nya. Seorang nenek di kampung belakang perumahan ku dengan asal menjawab 105 saat ditanya berapa usianya, yang membuat aku yakin dia tidak menghitung usia dia hidup, terlebih melakukan pereyaan ulang tahun.
Berbagai kebudayaan dan agama memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai hari ulang tahun. Bangsa Romawi terbiasa merayakan ulang tahun dengan antusias dan pesta-pora. Mungkin ini asal mula kebiasaan merayakan ulang tahun di dunia barat. Sedangkan bangsa Yahudi menganggap hari ulang tahun sebagai hari yang spesial karena pada saat itu doa seseorang akan terkabul. Sedangkan islam memandang perayaan ulang tahun sebagai seusatu yang bersifat dibolehkan. Memang pada awalnya tidak ada tradisi pereyaan ulang tahun oleh umat islam. Namun pada abad pertengahan, Sultan Salahuddin Al-Ayubi, seorang pahlawan Islam, membuat suatu gagasan bahwa semangat juang umat islam harus ditingkatkan dengan cara meningkatkan kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Akhirnya pada 12 Rabiul Awal, hari kelahiran Nabi SAW, dilakukan perayaan besar-besaran secara massal oleh Islam di seluruh dunia, yang dikenal dengan Maulid Nabi.
Akhirnya, dari berbagai tradisi dan kebiasaan tersebut, aku melihat bahwa garis utama dari hari lahir ini adalah: momentum. Momentum untuk apa? itu tidak pasti. Akan kita gunakan sebagai apa momentum ini, itu tergantung kepada kebijaksanaan dari masing-masing kita. Ada yang mengabaikannya, ada yang bersukatcita karenanya, ada yang mendoa, dan ada yang menanfaatkannya untuk pembawa semangat baru.
Sedangakan diriku sendiri akan menggungakan momentum ini sebagai checkpoint hidup, waktu di mana aku dapat berhenti sejenak, dan mencoba melihat secara jernih hidup yang dijalani selama ini, dan yang akan dijalanai setelah nya. Sebelum kembali menceburkan diri dalam arus kehidupan.
Tapi terlepas dari semua itu, momentum yang aku dapatkan untuk ke-21 kali ini sedikit spesial, karena aku mendapatkan sesuatu, yang bukan materi, tetapi kata-kata. Kata-kata doa, selamat, ataupun harapan. Kata-kata dari sahabat-sahabat di sekeliling ku yang dikumpulkan oleh mereka yang terdekat. Apa yang spesial dari kata-kata? Secara materi memang tidak berarti. Tetapi bagiku ini jauh lebih berharga dari hadiah materi entah berapapun tinggi harganya. Karena materi akan hilang dengan berjalannya hari, sedangkan kata-kata dapat abadi dalam memori.
“Selamat ulang tahun Azka..
Semakin dekat jalanmu pulang..
Semakin sedikit waktu yg kamu punya. Nabi Yusuf pernah berdoa “wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yg shalih” QS. Yusuf:101)”
*salah satu kata-kata yang paling aku sukai dari hadiah kumpulan kata-kata buatan sahabat-sahabat ku: http://azkagulsyan21.tumblr.com/
Dari tempat duduk favorit di teras rumah,
Muhammad Azka Gulsyan